Monday, March 4, 2019

Ketika Bang Imad Menjadi Tahanan Politik

Almarhum Imaduddin Abdulrahim alias Bang Imad menulis 'Kuliah Tauhid'.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satu pembawaan Imaduddin Abdulrahim alias Bang ‘Imad adalah berani karena benar. Ceramah-ceramahnya selalu lugas, memperjuangkan amar ma'ruf nahi munkar. Padahal, Orde Baru kala itu sedang kuat-kuatnya dan cenderung anti-kritik.

Pemilihan umum tahun 1971, misalnya, membuktikan nirdemokratisnya penguasa. Terhadap fenomena ini, Bang ‘Imad di tiap forum publik tidak ragu menyuarakan kritik keras. Imbasnya, dia pernah tidak bisa berceramah di kampus-kampus pada 1986-1988.

Ke manapun dia pergi, selalu dibuntuti mata-mata. Ada dua kasus yang cukup fenomenal. Pertama, saat dirinya menjadi penceramah Maulid Nabi di Masjid al-Azhar (Jakarta) 1971.

Bang ‘Imad tahu betul ada mata-mata pemerintah yang menyelinap di antara hadirin. Panitia juga telah mengingatkannya lantaran khawatir keselamatan sang narasumber.

Namun, tak terbersit rasa takut dalam diri Bang ‘Imad. Setelah mengutip ayat Alquran, dia tegas menyerukan, umat Islam “jangan pernah takut kepada selain Allah, apalagi kepada intel.” Diserukannya pula agar siapapun intel yang sedang menyamar mencatat setiap perkataannya.

Kasus kedua terjadi di UGM Yogyakarta. Di hadapan ratusan hadirin, Bang ‘Imad menyinggung sejarah Firaun. Dikatakannya pula, sebelum mati penguasa Mesir Kuno itu mendirikan istana di atas bakal kuburannya. Konteks ceramahnya saat itu adalah era Presiden Suharto. RI-1 saat itu memang sudah membangun kompleks mausoleum Astana Giribangun di Karanganyar, Jawa Tengah. Walaupun Bang ‘Imad tidak menyebut Suharto atau presiden, terasa sindirannya kepada penguasa.

Menjadi Tahanan Politik

Pada malam hari, 23 Mei 1978, peristiwa ini terjadi. Bang ‘Imad ditangkap intel di rumahnya. Suami Nur’aini itu baru saja selesai mengisi kajian di Masjid Salman, ITB. Perjalanan dari Bandung ke Jakarta ditempuh lewat tengah malam.

Bang ‘Imad tak merasa cemas sama sekali. Tiba di penjara yang berlokasi persis samping TMII, dia tidak menjalani penyiksaan. Malahan, sipir yang membentaknya dibentaknya lebih keras lagi. Sejak saat itu, semua petugas segan kepadanya. Baik sebagai ilmuwan maupun figur publik, Bang ‘Imad menampakkan jiwa tauhid yang teguh.

Sekilas cerita. Saat menjadi dosen di Malaysia, umpamanya, dia sedih melihat ada mahasiswa yang percaya stereotipe bahwa segala yang berbau Barat –termasuk kemajuan teknologi— bertentangan dengan Islam.

Bahkan, pelajar itu tampak meyakini Islam tidak cocok untuk dunia modern. Bang ‘Imad pun mengadakan Latihan Mengenal Diri (LMD; bukan “Latihan Mujahid Dakwah”) kepada semua anak didiknya.

Tujuannya agar Muslimin Indonesia atau umumnya bangsa Melayu mengenal betul agamanya sehingga bangga beridentitas Islam. Di negeri jiran, training ini dijuluki Latihan Tauhid.

Hasilnya, para mahasiswa mulai berubah. Yang tadinya malu-malu membawa Alquran ke kampus, kini menampakkannya di atas buku-buku kuliah.

Satu karya Bang ‘Imad adalah Kuliah Tauhid. Buku yang terbit pada 1982 ini bermula dari transkrip ceramahnya yang disampaikan selama Ramadhan 1397 H di Masjid Salman ITB.

Karya ini disempurnakannya 14 bulan ketika dirinya berstatus tahanan politik di Penjara Nirbaya. Artinya, masa-masa di dalam penjara dimanfaatkannya untuk menulis dan menyebarkan ilmu.

Let's block ads! (Why?)


https://ift.tt/2EM84QL
March 05, 2019 at 02:36PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2EM84QL
via IFTTT
Share:

0 Comments:

Post a Comment