REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasarkan bukti-bukti sejarah, dakwah Islam diduga pertama kali tiba di Filipina dalam periode antara abad ke-12 dan 13. Hal itu dipaparkan Saifullah SA dalam artikelnya, "Umat Islam di Filipina Selatan: Sejarah, Perjuangan dan Rekonsilias" (jurnal Islamica, September 2008).
Pada mulanya, seorang mubaligh yang bernama Tuan Masha'ika datang ke wilayah Kepulauan Sulu selatan. Saat itu, Pulau Jolo--salah satu pulau besar di gugusan Kepulauan Sulu--menjadi pusat kekuasaan Rapa Sipad (Raja Shripaduka). Selain itu, penduduk di daerah tersebut kebanyakan masih menganut animisme.
Tuan Masha’ika diterima dengan baik dan bahkan dihormati masyarakat setempat. Setelah namanya kian tenar, pihak istana mengizinkannya untuk tinggal. Malahan, dia lalu dinikahkan dengan seorang puteri Rapa Sipad. Kalangan bangsawan setempat pun berhasil diislamkan. Keturunan Tuan Masha’ika akhirnya menjadi penyebar Islam di Filipina.
Narasi tersebut dikuatkan oleh penemuan berupa batu nisan atas nama Miqbal dari tahun 1310. Artefak ini ditemukan di dekat Jolo. Menurut Saifullah SA, adanya batu nisan tersebut menjadi salah satu bukti arkeologis tentang masuk dan berkembangnya Islam di Filipina.
Nama penting lainnya adalah Karim al-Makhdum. Mubaligh yang bergelar Syarif Awliya itu diketahui berasal dari Arab. Dia diterima dan akhirnya menetap di lingkungan bangsawan Tagimaha di Buansa. Kedatangannya juga dianggap para peneliti sebagai permulaan dakwah Islam di Filipina.
Awalnya, Karim al-Makhdum menginjakkan kaki di Pulau Simunul (kini termasuk Provinsi Tawi-tawi, Filipina) pada 1380. Lantas, di sana dia membangun masjid pertama dan tertua di Filipina bersama para penduduk lokal.
Sepuluh tahun kemudian, datang seorang bangsawan dan pendakwah dari Minangkabau di Filipina selatan. Namanya, Raja Baguinda. Dia tiba bersama dengan beberapa orang pengikutnya ke Kepulauan Sulu sekitar tahun 1400.
Dikisahkan, Raja Baguinda bersama dengan Karim al-Makhdum bekerja sama untuk memajukan Islam di Buansa (bagian utara Pulau Sulu). Kemudian Raja Baguinda diangkat menjadi pimpinan Buansa. Beberapa tahun kemudian, datang lagi seorang dai Arab bernama Sayed Abu Bakar ke Buansa, Sulu, sekira tahun 1450. Sebelumnya, dia telah melakukan perjalanan dari Palembang (Sumatra Selatan) dan Brunei.
Sayed Abu Bakar ahli agama Islam. Raja Baguinda pun tertarik untuk menikahkan putrinya dengan tokoh tersebut. Pada akhirnya, Sayed Abu Bakar menjadi raja berikutnya di Sulu dengan gelar Sultan Sharif. Sejak tahun 1500, Kesultanan Sulu kian mapan terbentuk, yakni dengan menyatukan kelompok-kelompok masyarakat Muslim yang tersebar di pulau-pulau Filipina selatan.
Tidak hanya di wilayah Kesultanan Sulu. Islam juga berkembang di Pulau Mindanao. Dikisahkan, penduduk Mindanao sudah cukup banyak yang Muslim, tetapi mereka masih cenderung pada sinkretisme saat itu.
Untuk itu, menyebarlah gerakan dakwah yang dimotori Syarif Muhammad Kabungsuwan. Dia merupakan seorang Arab-Melayu yang ikut menyebarkan Islam di Filipina selatan. Pada 1515, dia mendirikan Kesultanan Maguindanao.
Di bawah pemerintahannya, sistem hukum Islam mulai diberlakukan secara menyeluruh. Hikmat penerapannya tertuang dalam dokumen Maguindanao Code of Law atau Luwaran. Sistem tersebut didasarkan pada kitab-kitab rujukan umumnya, yakni mazhab Syafi'i dalam hal fikih.
Tidak hanya sebagai pemimpin, perannya juga meliputi dakwah Islam, khususnya meluruskan penerapan agama ini di Mindanao. Pengetahuannya yang luas tentang Islam membuatnya menjadi rujukan di kalangan masyarakat.
https://ift.tt/2ETFTPQ
March 08, 2019 at 06:20AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2ETFTPQ
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment